khuzaifah hanum

share to others

Zakat dan Pembangunan Sosial

leave a comment »

Kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa ini tampaknya belum bisa menjadi sebuah sarana yang efektif untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Sebaliknya, kekayaan yang dimiliki negeri ini tereksploitasi habis dan hanya dinikmati oleh sebagian kecil kelompok elite saja. Kemiskinan menjadi fenomena riil di negeri ini. Pertumbuhan ekonomi tidak mampu menghadirkan kesejahteraan sosial. Pembangunan telah terdistorsi dan mengarah pada kegagalan.  Diperlukan sebuah revisi atas agenda pembangunan, dengan mengarahkannya pada perwujudan kesejahteraan masyarakat secara adil. Zakat merupakan kunci dari pembangunan sosial, dengan menjembatani antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sebuah agenda alternatif untuk menghadirkan sebuah Indonesia yang  sejahtera.

Setelah hampir 63 tahun merdeka dan telah dimulainya kegiatan pembangunan nasional sejak awal tahun 1970-an, masyarakat di negeri ini belum juga dapat menikmati kehidupan yang layak sebagai bangsa yang sejahtera. Kemiskinan saat ini, menjadi permasalahan akut yang terus berlanjut, tanpa ada kejelasan kapan problem klasik ini akan teratasi. Meskipun klaim pemerintah menyatakan bahwa Indonesia tengah menjalani masa-masa sebagai sebuah negara berkembang, di mana program pembangunan ekonomi dianggap berada pada jalur yang benar. Namun, tetap saja, kemiskinan masih terus merajalela.

Sebagaimana laporan Bank Dunia (Oktober 2006) dinyatakan bahwa sekitar 49% dari total penduduk Indonesia, atau 108,7 juta jiwa masih tergolong miskin. Meskipun, data tersebut kemudian coba ‘dikoreksi’ oleh pemerintah melalui data Susenas dari Biro Pusat Statistik (BPS), bahwa angka kemiskinan di Indonesia masih berkisar pada besaran 17,8%, atau setidaknya jauh lebih baik dari fakta yang dikemukakan Bank Dunia tersebut,  dengan alasan bahwa perbedaan standar kesejahteraan yang digunakan (BPS, 2006).

Bagaimanapun, angka kemiskinan tersebut merupakan coreng kelam di wajah negeri ini. Tentunya realitas kemiskinan ini sangatlah disayangkan dapat terjadi di negeri ini, yang memiliki kaya akan sumber daya alam. Potensi tersebut tidak mampu dimanfaatkan dengan baik untuk membangun pilar-pilar kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, hampir di setiap pelosok negeri, terjadi eksploitasi alam yang tidak terkendali. Sebagian besar hutan terus mengalami deforestasi secara drastis. Minyak bumi dan beraneka barang tambang lainnya yang dahulu menjanjikan sebuah harapan, tidak juga dapat teroptimalkan untuk menciptakan kesejahteraan. Laju kerusakan alam berbanding lurus dengan kerugian negara. Pada saat yang bersamaan, ketimpangan kesejahteraan terus terjadi, ini dikarenakan kekayaan itu terkonsentrasi pada segelintir kelompok elite masyarakat saja.

Kondisi tersebut merupakan gambaran umum dari kemiskinan struktural. Maksudnya, kemiskinan yang ada tidak disebabkan oleh ‘budaya kemiskinan’ yang berimplikasi pada lemahnya mental juang kelompok yang disebut masyarakat miskin tersebut, melainkan disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kehidupan sosial-ekonomi dirasakan tidak memberikan proteksi bagi kelompok lemah, sehingga entitas ini sangat mudah ditindas oleh golongan yang memiliki modal besar. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan keberlangsungan kehidupan masyarakat. Untuk itu, diperlukan sebuah sistem yang mampu mengatur kepemilikan harta, sehingga kesejahteraan dapat terdistribusikan dengan adil.

Zakat merupakan salah satu pilar syari’at Islam yang memiliki kaitan dengan permasalahan tersebut. Zakat merupakan ibadah dalam Islam yang memiliki dimensi sosial-ekonomi. Zakat berfungsi sebagai media redistribusi kekayaan dari kelompok yang mampu (aghniya’) kepada golongan yang kurang mampu (dhuafa’) dan yang tertindas (mustadh’afin). Zakat merupakan institusi resmi syari’at Islam untuk menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi yang berkeadilan, sehingga pembangunan ekonomi mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Tulisan ini mencoba menjelaskan mengenai zakat dan peranannya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Zakat seharusnya mampu menjadi agenda produktif dan advokatif secara berkelanjutan dalam menangani permasalahan kemiskinan masyarakat. Permasalahan yang terjadi adalah, saat ini banyak kalangan memahami konsep zakat dan implementasinya sebatas pada filantropi sosial yang ada dalam Islam. Sehingga mekanisme pemanfaatan zakat hanya bersifat karitatif dan konsumtif. Dari kenyataan tersebut, tulisan ini mencoba mengurai upaya potensial pengentasan kemiskinan yang mungkin dilakukan dari pemanfaatan zakat. Kemudian, tulisan ini diakhiri dengan beberapa rekomendasi kebijakan dan program tentang strategi pemanfaatan zakat menuju Indonesia sejahtera.

Hakikat dan Potensi Zakat

Dalam Islam, pelaksanaan zakat merupakan sebuah perintah Allah SWT yang memiliki pesan sebagai sebuah kewajiban yang mutlak harus dilakukan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beriman. Hakikat perintah yang disyari’atkan dalam Islam menurut Sayyid Quthb, tidaklah patut dipertanyakan alasan mengapa hal itu ada oleh setiap mu’min yang baik. Tetapi, sikap yang harus ditunjukkan adalah menjalankannya dengan penuh ketaatan untuk mendapat keridhaan Allah SWT dan mencari hikmah yang terkandung dalam perintah tersebut (Muhammad, 2004: 177). Karena itu, dalam mengkaji zakat, hal yang memungkinkan bisa dilakukan adalah dengan mencari hikmah dan implementasi dari perintah itu.

Zakat secara bahasa berarti suci (ath-thaharah), tumbuh dan berkembang (al-nama’), keberkahan (al-barakah), dan baik (thayyib). Sedangkan dalam rumusan fiqh, zakat diartikan sebagai sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu (Djamil, 2004: 6). Dari sumber dana sosial kaum muslimin yang ada, zakat merupakan elemen yang sangat penting. Pertama, zakat merupakan perintah yang diwajibkan kepada kaum muslimin yang mampu (Q.S. At-Taubah [9]: 103). Dalam konteks sebagai perintah, dana zakat memungkinkan untuk ditarik dari para muzakki. Sehingga akan memungkinkan dana zakat ini menjadi sumber utama dari dana sosial kaum muslimin.

Kedua, mengenai pemanfaatannya, zakat memilik aturan yang jelas mengenai siapa yang berhak menerimanya sebagaimana telah dirincikan Al-Qur’an ke dalam delapan asnaf penerima zakat (Q.S. At-Taubah [9]: 60). Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan zakat sering kali terpaku pada konsep tersebut. Sebenarnya, pemahaman mengenai delapan asnaf penerima zakat sebagai mana tercantum dalam al-Qur’an merupakan pencerminan kontekstual atas kondisi kesejahteraan masyarakat pada waktu tersebut. Sehingga, delapan asnaf yang tersurat dalam ayat tersebut merupakan gambaran kondisional dari kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang rendah pada masa ayat tersebut diturunkan, karenanya perlu adanya kontekstualisasi dalam era pembangunan saat ini (Enizar, 2004: 19).

Sementara itu, dalam dimensi pembangunan masyarakat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan pengelolaan zakat yang baik, sangat dimungkinkan membangun suatu pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan pada saat yang bersamaan, seperti apa yang dikemukakan AM Saefuddin sebagai economic growth with equality. Dalam kondisi riil, disadari bahwa tidak semua pelaku ekonomi dalam mekanisme tersebut akan memperoleh keberuntungan yang sama. Oleh karenanya, untuk menghadapi hal ini, zakat menjadi instrumen penting dalam rangka melakukan redistribusi pendapatan untuk meminimalisasikan perbedaan kesejahteraan yang merupakan efek dari aktifitas pasar. Melalui mekanisme ini, secara tidak langsung, pilar ukhuwah ummat Islam tengah terbangun, melalui solidaritas sosial dalam zakat.

Zakat sebagai sumber dana sosial kaum muslimin, sebenarnya, memiliki potensi yang besar bagi pendanaan aktifitas peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi kaum muslimin di Indonesia. Saat menjabat sebagai Menteri Agama RI, Said Aqiel Munawar memperkirakan bahwa potensi zakat kaum muslimin Indonesia setiap tahunnya mencapai Rp. 7,5 miliar. Perkiraan ini didasarkan pada asumsi BPS bahwa 32 juta KK yang ada di Indonesia merupakan penduduk yang tergolong “sejahtera” dan 90% dari total keseluruhan adalah kaum muslimin dengan penghasilan rata-rata Rp 10 juta – Rp 1 miliar/ KK/ tahun, dengan tentunya dengan besaran kewajiban zakat normal 2,5% (El-Saha, 2001: B7).

Sementara itu, hasil survei yang dilakukan PIRAC tentang Pola dan Kecenderungan Masyarakat Berzakat di 11 Kota Besar menyebutkan bahwa nilai zakat yang dibayarkan berkisar antara Rp 124.000 per tahun. Sedangkan nilai zakat yang dibayarkan berkisar antara Rp 44.000 sampai Rp. 339.000 per tahunnya. Dari data tersebut, PIRAC memperkirakan jumlah dana zakat, infak, dan shadaqah yang mungkin tergalang di Indonesia berjumlah sekitar Rp 4 triliun setiap tahunnya (Abidin, 2004: xii). Fakta tersebut menunjukkan besarnya potensi ekonomi yang terkandung dalam dana zakat, dan bukan tidak mungkin, sumber dana potensial tersebut dapat dikelola untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat.

Kemiskinan dan Pembangunan Sosial

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang sudah dan selalu ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, berbagai formulasi dan intervensi kebijakan, baik yang bersifat darurat di saat krisis maupaun yang sifatnya simultan berupa program jangka pendek, telah digulirkan oleh pemerintah untuk meminimalisasikan dampak negatif dari kemiskinan. Namun, tetap saja, sejarah terus mencatat tidak satu pun dari agenda tersebut yang mampu membuahkan hasil yang memuaskan. Masyarakat miskin terus termarjinalkan dalam sistem ekonomi yang ada. Pemiskinan terstruktural tengah terjadi dalam dinamika ekonomi itu sendiri.

Secara mendasar, sistem ekonomi konvensional melihat bahwa setiap individu memiliki kapasitas yang ideal untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri (Midgley, 2005: 150). Sistem ekonomi inilah yang kemudian menjadi narasi besar dari setiap pembuatan kebijakan pembangunan ekonomi oleh berbagai pemerintah di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Dalam mekanisme pasar seperti ini, semestinya setiap individu mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, karena pasar telah memberikan peluang yang terbuka dengan sangat lebar bagi setiap individu dalam masyarakat untuk melaksanakan tujuan dari aktifitas ekonomi yang mereka inginkan.

Karena itu, terkait dengan masalah kemiskinan, sistem ini berargumen bahwa kondisi kemiskinan sepenuhnya tersebut berada di bawah kendali individu. Pengusung sistem ekonomi konvensional ini memandang bahwa masalah kemiskinan merupakan suatu akibat dari ketidakmampuan individu untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka (Nasution, 2004: 128). Lebil lanjut, secara ekstrim, Oscar Lewis (1966) mengemukakan kegagalan pembangunan kesejahteraan ekonomi pada masyarakat miskin dikarenakan mereka masih mempertahankan ‘budaya kemiskinan’, yaitu asumsi bahwa manusia menjadi miskin karena mereka memiliki kepercayaan dan perilaku yang membuat mereka berada dalam kondisi keterbelakangan, miskin (Midgley, 2005: 111).

Dengan asumsi ini, pemerintah sebagai regulator dan eksekutor kebijakan pemberantasan kemiskinan, setidaknya telah membuat dua kebijakan yang salah arah. Pertama, narasi sistem ekonomi konvensional telah membawa pemerintah untuk lebih mengejar peningkatan produksi sebagai barometer perekonomian nasional (ul-Haq, 1995). Akibatnya, orientasi pemerintah dalam upaya minimalisasi kemiskinan menjadi terabaikan. Karena, secara tidak langsung, pemerintah hanya menitikberatkan pembangunan sebagai upaya pada ‘seberapa cepat proses produksi’, lantas mengabaikan ‘bagaimana mendistribusikan hasil produksi itu untuk kesejahteraan rakyat’.

Kedua, terjadinya fenomena pembangunan yang terdistorsi, yaitu proses pembangunan ekonomi belum dapat diiringi dengan hadirnya kemajuan sosial (Midgley, 2005: 5). Fenomena pembangunan yang terdistorsi ini tampaknya menjadi sebuah realita dalam aktifitas pembangunan di negeri ini. Pemerintah secara praktis membebankan pembangunan pada beberapa kelompok kecil konglomerasi yang ada di negeri ini. Anggapan pemerintah bahwa dengan model ini diharapkan dapat terjadi suatu trickle down effect (Gie, 1995: 21), yaitu pandangan bahwa entitas pemilik modal besar tersebut diharapkan mampu memberikan keuntungan yang mereka peroleh bagi kelompok masyarakat yang bergantung di bawah mereka. Namun nyatanya, perspektif tersebut jelas keliru. Kelompok elite yang memiliki banyak modal tersebut, enggan berbagi kepada kelompok masyarakat di bawahnya. Akibatnya, meskipun pertumbuhan ekonomi terus terjadi, namun kesejahteraan sosial tidak juga terealisasikan.

Konsepsi pembangunan ekonomi kontemporer ini, memang telah menghasilkan berbagai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, di sisi lain, pembangunan itu mengalami kegagalan dalam hal peningkatan kesejahteraan sosial. Secara individual, khususnya bagi mereka yang memiliki modal besar, keberhasilan ekonomi menjadi sebuah realitas yang tidak terbantahkan. Sementara, bagi mereka yang kurang beruntung, keterbatasan modal, maka mereka menjadi kelompok yang tertindas dalam persaingat tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, paradigma pembangunan sudah selayaknya diperbaiki, melalui revitalisasi pembangunan yang dewasa ini dikenal sebagai pembangunan sosial.

Bagi Midgley (2005: 1), pembangunan sosial merupakan upaya memperpendek jarak kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi yang menjulang tinggi pada satu sisi, dengan keterpurukan kesejahteraan sosial pada sisi yang lain. Kesejahteraan sosial ditandai dengan kemakmuran, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat, yang terdistribusi secara menyeluruh dalam setiap lapisan masyarakat. Karena itu, upaya pembangunan sosial bukanlah langkah untuk menghentikan laju pertumbuhan ekonomi, yang ditujukan agar pembangunan dapat difokuskan pada pemerataan untuk peningkatan kesejahteraan sosial. Melainkan, bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi yang ada, kemudian mengarahkannya untuk dapat menjadi motor yang menopang bergeraknya kesejahteraan sosial pada tingkatan yang lebih baik. Dengan demikian, pembangunan sosial mencoba mensinergikan antara pertumbuhan ekonomi dan aspek kemajuan kesejahteraan sosial.

Lebih lanjut, Michael Todaro (1996) menekankan bahwa ada tiga indikator dari tujuan pembangunan sosial, yaitu: kebercukupan, peningkatan standar hidup, dan kebebasan. Pertama, pembangunan sosial haruslah mampu menghasilkan kebercukupan bagi masyarakat. Dalam hal ini, terdapat peningkatan ketersediaan dan pemerataan distribusi kebutuhan hidup. Kekayaan dan sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak beredar pada segelintir kelompok kecil saja dalam masyarakat. Kedua, pembangunan sosial mampu menghadirkan peningkatan standar hidup yang meliputi peningkatan pendapatan dengan kesempatan kerja yang terbuka lebar, proteksi penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Ketiga, kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihannya, khususnya terkait dengan aktifitas sosial-ekonomi. Individu dalam sistem pembangunan tersebut memiliki kemerdekaan dari sikap menghamba, baik pada individu maupun institusi, khususnya sikap menghamba dari para pemilik modal yang dewasa ini menjadi sangat familiar dalam aktivitas perekonomian. Untuk itu, idealnya, pelaksanaan pembangunan sosial seharusnya mampu merangkum semua tujuan tersebut.

Zakat dalam Pembangunan

Kewajiban zakat dalam pembangunan pada hakekatnya merupakan implementasi dari pembangunan sosial. Penerapan zakat dalam pembangunan dan aktifitas ekonomi ditujukan untuk menciptakan harmoni antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi. Setidaknya, dalam pelaksanaan zakat, terdapat fungsi-fungsi dari pembangunan sosial yang secara umum terlihat dalam dua hal, yaitu agenda redistribusi harta kekayaan dan upaya pemberdayaan masyarakat.

Redistribusi harta kekayaan. Perintah zakat, pada dasarnya, merupakan sebuah upaya agar harta kekayaan dapat terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Islam tidak menginginkan harta kekayaan tersebut hanya beredar dikalangan tertentu saja dalam masyarakat (Q.S. Al-Hasyr [59]: 7). Sebuah peringatan yang justru tengah terjadi dalam dinamika ekonomi kontemporer, di mana para pemilik modal dapat leluasa mengakumulasi modal mereka secara tersistematis dan mampu menikmati kesejahteraan yang sangat layak. Sementara, kelompok masyarakat miskin selalu tertindas karena mereka tidak memiliki modal (harta) sedikitpun untuk dapat menjalani kehidupan ekonomi mereka.

Terkait dengan redistribusi ini, Islam memandang bahwa status kepemilikan harta bukanlah otoritas absolut individu. Artinya, manusia bukanlah pemilik mutlak dari harta kekayaan yang mereka dapati. Semua itu merupakan titipan dari Allah SWT. Lebih lanjut, Islam menegaskan bahwa dalam harta yang diperoleh tersebut, di dalamnya, terdapat hak-hak orang lain dari harta yang mereka hasilkan (Q.S. Al-Ma’aarij [70]: 24-25). Karena itu, redistribusi harta kekayaan melalui zakat, dalam pandangan Islam, memiliki landasan yang jelas.

Adapun dalam pelaksanaannya, zakat tidaklah ditujukan untuk menghentikan kemajuan ekonomi, karena telah mengambil sebagian modalnya untuk pembangunan kesejahteraan orang lain yang kurang beruntung. Sementara, memanjakan ‘orang-orang malas’ agar dapat terus hidup dalam ‘budaya kemiskinan-nya’. Pengalihan sebagian kepemilikan tersebut dimaksudkan agar setiap individu memiliki peluang untuk dapat berpartisipasi dan mengoptimalkan potensinya dalam aktivitas ekonomi. Islam, dalam konsep zakat ini, memandang bahwa kemiskinan bukanlah disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam melakukan proses produksi. Kemiskinan yang terjadi saat ini disebabkan karena mereka tidak memiliki akses untuk melakukan aktifitas ekonomi, dikarenakan ketiadaan harta sebagai modal bagi mereka. Karena itu, kran penyumbat akses menuju aktifitas ekonomi itu harus dibuka dengan redistribusi harta melalui penerapan zakat.

Dengan demikian, zakat, pada dasarnya, merupakan sebuah manifestasi nyata dari konsep ‘trickle down effect’. Aplikasi zakat dalam pembangunan tidak diarahkan untuk mengekang laju pertumbuhan ekonomi, melainkan memberikan kebebasan bagi setiap aktor ekonomi dalam menjalankan aktifitas untuk memperoleh keuntungan yang terbaik dan halal. Namun, zakat mengingatkan bahwa dalam capaian kemajuan ekonomi tersebut, terdapat hak-hak orang lain yang harus diberikan kepada mereka yang kurang beruntung. Sehingga, kemajuan ekonomi memberikan efek yang merembas bagi masyarakat kecil di bawahnya.

Dengan analisis yang sama, pelaksanaan zakat memiliki tujuan objektif untuk meruntuhkan fenomena pembangunan yang terdistorsi. Melalui mekanisme redistribusi harta kekayaan, zakat berupaya meminimalisasikan gap antara kemajuan ekonomi dengan kesejahteraan sosial. Redistribusi harta kekayaan tersebut diarahkan pada tujuan yang lebih spesifik yaitu penyebaran kesejahteraan secara progresif. Laju pertumbuhan ekonomi mampu memberikan sharing pendapatan bagi masyarakat yang kurang beruntung, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi pada kelompok yang memiliki modal saja. Tetapi juga tersebar merata bagi mereka yang tergolong miskin, karena adanya tambahan distribusi pendapatan melalui zakat. Oleh karenanya, penerapan zakat dalam pembangunan mampu memacu pembangunan kesejahteraan sosial, bersamaan dengan laju pertumbuhan ekonomi.

Pemberdayaan masyarakat. Dalam pembangunan sektor riil, zakat memiliki peranan yang cukup besar. Peran tersebut diimplementasikan dalam agenda pemberdayaan masyarakat melalui produktifitas dana zakat. Pada dasarnya, zakat merupakan sebuah institusi advokasi yang produktif dalam pemberdayaan masyarakat. Artinya, pemanfaatan zakat semestinya bukan hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat karitatif dan konsumtif. Melainkan memiliki agenda pembangunan masyarakat yang terpadu melalui pemberdayaan masyarakat. Tujuan akhir dari zakat adalah menciptakan muzakki-muzakki baru, dan agenda tersebut hanya dapat direalisasikan dengan menjadikan zakat sebagai program produktif pemberdayaan masyarakat.

Selama ini, program pemberdayaan masyarakat yang dikelola secara konvensional memiliki keterbatasan dalam beberapa hal: Pertama, program pemberdayaan non-zakat, memiliki hambatan dalam ketersediaan dana. Umumnya, dana-dana tersebut merupakan hasil dari galangan filantropi yang tidak memiliki keterikatan ataupun program pemerintah saja. Program tersebut sangat bergantung pada kedermawanan golongan aghniya’ maupun kebijakan pemerintah. Maka, berbeda dengan konsep zakat, dalam pelaksanaannya, zakat tidak akan pernah mengalami keterbatasan dana. Karena, sumber dana zakat berasal dari kewajiban muzakki yang setiap periodenya wajib untuk menunaikan tanggung jawab tersebut.

Kedua, idealnya, pemanfaatan dana zakat merupakan sebuah program yang akuntabel dan transparan. Karena di dalamnya terdapat nilai transendental, di mana tanggung jawab pengelolaannya tidak hanya berkaitan dalam hubungan sesama manusia, melainkan sebuah bentuk ibadah yang akan dimintai evaluasinya di ‘Hari Pembalasan’. Ketiga, pemberdayaan masyarakat melalui zakat merupakan sebuah agenda yang memiliki ‘efek bola salju’. Maksudnya, dalam program pemberdayaan zakat, golongan mustahik merupakan subjek yang menjadi pelaku utama dalam program tersebut. Mereka dituntun untuk dapat memanfaatkan program itu untuk memberdayakan diri mereka. Sehingga pasca pelaksanaan program ini, mereka mampu menjadi insan yang madiri secara ekonomi, bahkan lebih lanjut, mereka diharapkan menjadi muzakki-muzakki baru yang menjadi pemberi zakat selanjutnya.

Rekomendasi Strategi

Pembahasan tentang potensi zakat, tentunya akan hanya menjadi sebuah wacana utopis tanpa mendeskripsikan strategi kebijakan dan implementasinya dalam kehidupan nyata. Untuk itu, penulis mencoba memberikan beberapa rekomendasi strategis terkait realisasi konsep zakat dalam pembangunan sosial ini untuk menuju Indonesia sejahtera. Melihat dari tujuan zakat, maka pengelolaannya pun seharusnya dilakukan dengan penerapan strategi yang tepat sasaran. Diperlukan klasifikasi dalam pemanfaatan dana zakat dalam rangka pembangunan masyarakat. Dalam hal ini, penulis memberikan kategori dalam pemanfaatan zakat ini ke dalam dua agenda rekomendasi, yaitu program taktis dan program strategis.

Program taktis merupakan pemanfaatan dana zakat yang bersifat darurat dan memiliki batasan waktu sesuai dengan kondisi tersebut. program ini. Dalam program ini, zakat dapat dimanfaatkan untuk agenda yang bersifat sementara untuk tujuan karitatif dan konsumtif. Namun, dengan catatan, bahwa program tersebut merupakan upaya merevitalisasi kondisi keterpurukan masyarakat yang sangat parah, dengan tujuan dasar untuk dapat menyelamatkan hidup para mustahik yang terdesak karena musibah, seperti pengadaan konsumsi dan pelayanan kesehatan. Tentunya program ini bersifat sangat sementara, dan harus segera ditindaklanjuti dengan program pemberdayaan selanjutnya yang bersifat produktif. Ini diarahkan agar mustahik tidak memiliki ketergantungan yang terus-menerus terhadap bantuan dari program zakat ini.

Program strategis merupakan program yang diarahkan pada pemberdayaan zakat sebagai agenda pembangunan masyarakat. Berikut merupakan langkah strategis yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan fungsi zakat.

  1. Kurikulum Pendidikan Zakat

Permasalahan medasar dalam pengelolaan zakat saat ini adalah lemahnya pemahaman kaum muslimin dalam hal kewajiban dan pemanfaatan zakat. Banyak yang tidak sadar bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Sementara, banyak pula yang melihat bahwa pemanfaatan zakat sebatas pada aktifitas karitatif dan konsumtif. Akibatnya, pengelolaan zakan menjadi kurang optimal. Untuk itu diperlukan adanya kurikulum tentang zakat dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan adanya kurikulum tersebut, diharapkan lahir generasi-generasi ummat Islam yang sadar akan hakikat zakat, sehingga pengelolaan zakat menjadi lebih terasa manfaatnya.

  1. Profesionalisme Amil Zakat

Profesionalisme amil zakat merupakan hal penting dalam pengelolaan zakat. Dalam hal ini, setidaknya akan memberikan efek ganda dalam pemanfaatan zakat. Pertama, profesionalisme amil zakat akan meningkatkan kepercayaan muzakki untuk menyerahkan zakatnya, sehingga ketersediaan dana zakat menjadi lebih maksimal. Kedua, dengan profesionalisme ini, maka program pemberdayaan zakan mampu memberikan efek yang lebih tepat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan program-program tersebut memiliki variasi yang lebih sehingga mampu memiliki daya jangkau yang luas namun efektif untuk peningkatan kualitas hidup mustahik, karena sesuai dengan kondisi mereka.

  1. Produktifitas Program Zakat

Produktifitas program zakat merupakan langkah untuk menjadikan pemanfaatan zakat sebagai langkah yang mampu memandirikan mustahik. Dalam program ini, zakat dimanfaatkan sebagai sebuah modal usaha untuk dikelola oleh mustahik binaan. Dari program ini, diharapkan mustahik mampu menghasilkan suatu produk yang memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, program zakat produktif ini mampu mencapai dua tujuan sekaligus, merentas kemiskinan yang terjadi pada masyarakat dhuafa’ sekaligus menyemai aktor ekonomi dengan budaya enterpreneurship matang. Selanjutnya, pasca program pembinaan ini, mereka mampu memiliki kemandirian ekonomi, dan juga menjadi muzakki-muzakki baru yang diharapkan dapat membantu golongan dhuafa’ lainnya.

  1. Revisi UU Zakat

Meskipun Indonesia telah memiliki undang-undang tentang zakat (UU No.38/ 1999), namun tetap saja keberadaan UU tersebut belum mampu meningkatkan efektifitas pemanfaatan zakat. Hal ini dikarenakan, tidak adanya kewajiban dalam UU tersebut bagi muzakki untuk membayarkan zakat mereka. Fungsi tersebut sepenuhnya diserahkan pada amil zakat untuk mengelolanya. Oleh karenanya, revisi UU Zakat mutlak diperlukan, karena sebenarnya penarikan zakat merupakan tanggung jawab negara. Jika memang revisi UU Zakat ini terealisasikan, bukan tidak mungkin, dana zakat dapat tersedia lebih maksimal, sehingga berbagai program pemanfaatan zakat mampu memberikan dampak yang optimal dalam pemberdayaan masyarakat menuju Indonesia sejahtera.

Penutup

Dinamika pengelolaan zakat dewasa ini dirasakan mulai menemukan momentum yang baik. Zakat tidak lagi dipahami sebagai dimensi ritual ibadah yang sempit. Lebih dari itu, zakat pun kini mulai dilirik sebagai salah satu pilihan dalam upaya perbaikan kondisi bangsa, terkait dengan masalah kesejahteraan sosial. Zakat mulai kembali menemukan peran strategisnya dalam upaya pembangunan ummat. Tentunya, perubahan ini sudah semestinya dikelola secara bijak sehingga mampu memberikan manfaat dari zakat secara lebih optimal dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat. Penulis sangat yakin bahwa pengelolaan zakat yang baik merupakan langkah tepat yang bisa menghadirkan cita-cita Indonesia sejahtera. Dan, tulisan ini merupakan salah satu upaya merealisasikan cita-cita itu.

Bahan Bacaan

Abidin, Hamid (2004) Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Efektivitas Pemanfaatan Zakat, Infak, dan Sedekah. Jakarta: Piramedia.

Al-Quran dan terjemahannya.

El-Saha, M Ishom (2001) Mengoptimalkan Potensi Zakat. dalam kolom Opini, Koran Tempo, terbit 6-Des-2001.

Gie, Kwik Kian (1994) Analisis Ekonomi Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Midgley, James (2005) Pembangunan Sosial: Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Ditperta Depag RI.

Muhammad, Afif (2004) Dari Teologi Ke Ideologi: Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb. Bandung: Penerbit Pena Merah.

Todaro, Michael (1996) Economic Development. New York: Addison Wesley Publishing Co.

ul-Haq, Mahbub (1995) Tirai Kemiskinan: Tantangan untuk Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Data Susenas Biro Pusat Statistik (2006).

Laporan Bank Dunia (2006).

Written by hanumisme

September 26, 2009 at 12:06 pm

Posted in masyarakat Madani

Leave a comment